Rumah Ilmu

Senin, 05 Mei 2014

Sastra Modern Angkatan 2000







https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgWC4P9XGiN3AC4NbZ_-JsuZ2lWyd8vmKK5-VbuhpSj7i0jKV9oe-f7SE8g_V03K0Goj2eQ22IEXJdw7199519R0IRgcVv2gvHpFVCdlABMPEHJTRN_UV3opwZZb3grYRpPyCIsDqnm8Nc/s1600/uNEJ+lOGO+copy.png

 
Sejarah Sastra Angkatan 2000
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Sejarah Sastra


Disusun oleh:

Yulias Anggraini (130210402072)
Luluk Belgis Nuril A (130210402088)
Hesti Rahayu  (130210402092)
Yemima Sana P. (1302104020  )


Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Jember
2014


Bab I. Pendahuluan



1.1                Latar Belakang
Sastra Angkatan 2000 atau sering disebut dengan sastra mutakhir (Dekade 90-an dan Angkatan 2000). Memasuki era Reformasi yang sangat anti KKN dan praktik otoriter, penuh kebebasan ekspresi dan pemikiran, mengandung renungan religiusitas dan nuansa-nuansa sufistik. Menampilkan euphoria menyuarakan hati nurani dan akal sehat untuk pencerahan kehidupan multidimensional. Pada masa angkatan 2000 ini banyak sekali muncul pengarang wanita. Mereka umumnya menulis dengan ungkapan perasaan dan pikiran yang tajam dan bebas. Ada di antara mereka yang sangat berani menampilkan nuansa-nuansa erotik, hal-hal yang sensual bahkan seksual, yang justru lebih berani dibandingkan para sastrawan seumumnya.
Adapun para sastrawati Angkatan 2000 antara lain: Ayu Utami, Jenar Mahesa Ayu, Fira Basuki, Herlinaties, Nukila Amal, Linda Kristianti, Ratih Kumala, Oka Rusmini, dan lain-lain. Di antara mereka yang mengusung ideology kebebasan wanita (woman libs) yang dulu pernah dilakukan oleh Nh. Dini (namun ungkapan-ungkapan Dini tetap literik, tidak vulgar). Sebenarnya minus idiom-idiom vulgar karya mereka termasuk berbobot, seperti juga prosa liris karya Linus Suryadi berjudul Pengakuan Pariyem . Di bagian-bagian tertentu karya Jenar Mahesa Ayu dan Ayu Utami bahkan sangat puitis serta filosofis, menampilkan ungkapan-ungkapan yang bernas dan cerdas, dengan imajinasi-imajinasi yang kaya renungan, mungkin juga humanis dan religius. Jadi mengandung hal-hal yang kontrovesial.
Nama ini diberikan Korrie Layun Rampan pada sejumlah pengarang dan penyair yang telah melahirkan wawasan estetik baru pada tahun 90-an. Korrie berkata, “ Afrizal Malna melansir estetik baru yang digali dari sifat missal benda-benda dan manusia yang dihubungkan dengan peristiwa tertentu dan interaksi missal. Estetik missal ini merupakan penemuan Afrizal yang unik dalam sastra Indonesia.




1.2                Rumusan masalah
1)       Apakah  yang melatar belakangi lahirnya sastra angkatan 2000?
2)      Peristiwa penting apakah yang terjadi dalam sastra angkatan 2000?
3)      Apakah ciri ciri angkatan 2000?
4)      Apa sajakah kekurangan dan  kelebihan angkatan 2000?
5)      Sastra apa saja yang berkembang dalam angkatan 2000?
6)      Aakah ada pengaruh idiologi feminism dalam karya sastra angkatan 2000?

1.3                Tujuan
1.      Agar mahasiswa mengetahui sejarah lahirnya tentang sastra angkata 2000
2.      Agar mahasiswa lebih mudah memahami konsep yang di usung dalam sastra nagkatan 2000.







Bab  II
Pembahasan



2.1  Latar Belakang Lahirnya Angkatan 2000
Setelah wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki ‘Juru bicara’ . Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan 2000. Sebuah buku tebal yang diterbitkan oleh Gramedia Jakarta tahun 2002, seratus lebih penyaiir, cerpennis, novelis, esais dan kritikus sastra dimasukan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak tahun 1980-an, seperti Afrisal Malna, Abmadun Yossi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma. Serta yang muncul pada akhir tahun 1990-an seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany. Menurut Korrie,Afrisal Malna melansir estetik baru yang digali dari sifat missal benda-benda dan manusia yang dihubungkan dengan peristiwa tertentu dari interaksi missal. Setelah terjadi reformasi, ruang gerak masyarakat pada awalnya merasa selalu dibekap dan terganjal oleh gaya pemerintahan Orde Baru yang represif tiba-tiba memperoleh saluran kebebasan yang leluasa.
Kesusastraan seperti dalam sebuah pentas terbuka dan luas. Para pemainnya boleh berbuat dan melakukan apa saja namun ada suasana tertentu yang mematangkannya. Angkatan 2000 adalah nama yang diberikan oleh Korrie Layun Rampan. Ada sejumlah pengarang yang melahirkan wawasan estetik baru pada tahun 1990-an dan tokoh-tokoh Angkatan ini adalah
1)         Afrisal Malna
2)         Seno Gumira Ajidarma
3)         Ayu Utami



2.2  Peristiwa Besar yang Terjadi pada Angkatan 2000

Berikut adalah momen penting yang terjadi sepanjang periode ini :
1)      2000: Korrie Layun Rampan mengumumkan adanya Angkatan 2000. H.B. Jassin meninggal di Jakarta. Buku Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul terbit.
2)      2001: Mulai 2001, penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) diberikan kepada sastrawan yang menghasilkan karya sastra terbaik. Mereka yang pernah mendapatkan penghargaan ini antara lain Goenawan Mohamad, Remy Sylado, Hamsad Rangkuti, Seno Gumira Ajidarma, Linda Christanty, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, Gus tf., Acep Zamzam Noor.
3)      2002: Majalah Horison menerbitkan buku Horison Sastra Indonesia yang terdiri dari empat kitab, yakni kitab puisi, cerpen, novel, dan drama. Dalam buku ini, Hamzah Fansuri yang hidup di abad ke-17 dimasukkan sebagai sastrawan Indonesia yang pertama.
4)      Terbitnya Jurnal Cerpen (2002) oleh Joni Ariadinata,dkk.
5)      Lomba Sayembata Menulis Novel,Dewan Kesenian Jakarta (2003).
6)      Kongres cerpen yang dilaksanakan secara berkala 2 tahun sekali.
7)       Cybersastra.
8)      2003: Sapardi Djoko Damono dan Ignas Kleden mendapat penghargaan Ahmad Bakrie Award karena jasanya di bidang kesusastraan dan pemikiran. Sastrawan dan intelektual yang menerima penghargaan yang sama pada tahun-tahun berikutnya adalah Goenawan Mohamad, Nurcholish Madjid, Budi Darma, Sartono Kartodirdjo. Frans Magnis Soeseno yang seharusnya mendapatkan penghargaan tersebut menolak karena keterkaitan perusahaan Bakrie dengan bencana Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.
9)      2004: Pemilihan presiden secara langsung yang dilakukan pertama kali di Indonesia. Soesilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden, mengalahkan Megawati. Di dunia sastra, para sastrawan muda mendeklarasikan lahirnya generasi sastrawan cyber. Sastra di internet merupakan terobosan baru bagi para sastrawan untuk berekspresi dan mempublikasikan karyanya secara bebas. Novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy terbit. Yayasan Lontar mendokumentasikan biografi sastrawan Indonesia, di antaranya Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi, Ahmad Tohari, Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, Sutan Takdir Alisjahbana, Putu Oka Sukanta, dan lain-lain. Aktivis HakAsasi Manusia (HAM) Munir dibunuh. Buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan karya Ignas Kleden terbit.
10)  2005: Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata terbit. Novel ini dan novel Ayat-ayat Cinta menjadi novel paling laris (best seller) dalam sejarah penerbitan novel di Indonesia. Kedua novel ini juga ditransformasi ke film.
11)   Festival Seni Surabaya (2005)
12)  2006: Yayasan Lontar menerbitkan Antologi Drama Indonesia: 1895-2000. Penerbitan buku ini menunjukkan bahwa sejarah sastra Indonesia bukan dimulai pada 1920, melainkan pada 1895. Anton Kurnia menerbitkan Ensiklopedi Sastra Dunia.
13)  2007: Novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma terbit. Buku kumpulan puisi Otobiografi karya Saut Situmorang terbit. Saut adalah salah satu sastrawan yang menggerakkan sastra cyber, sastrawan Ode Kampung, dan majalah Boemipoetra.
14)  2008: Buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang dicetak ulang dan buku-buku korban tragedi 1965 yang ingin meluruskan sejarah marak di toko-toko buku, dan menjadi buku laris. Misalnya, Suara Perempuan Korban Tragedi 65 karya Ita F. Nadia

2.3  Ciri-ciri karya sastra angkatan 2000

1.      Tema sosial-politik, romantik, masih mewarnai tema karya sastra
2.       Pilihan kata diambil dari bahasa sehari-hari yang disebut bahasa ‘kerakyatjelataan’.
3.      Revolusi tipografi atau tata wajah yang bebas aturan dan cenderung ke puisi konkre.
4.      Penggunaan estetika baru yang disebut “antromofisme” (gaya bahasa berupa penggantian tokoh manusia sebagai ‘aku lirik’ dengan benda-benda)
5.      Karya-karyanya profetik (keagamaan/religius) dengan kecenderungan menciptakan penggambaran yang lebih konkret melalui alam.
6.      Kritik social juga muncul lebih keras.
7.      Banyak muncul kaum perempuan
8.      Disebut angkatan modern
9.      Karya sastra lebih marak lagi, termasuk adanya sastra koran, contohnya dalam H.U. Pikiran Rakyat.
10.  Adanya sastra bertema gender, perkelaminan, seks, feminism
11.  Banyak muncul karya populer atau gampang dicerna, dipahami pembaca
12.  Muncul cyber sastra di Internet.
2.4  Kekurangan dan Kelebihan Sastra Angkatan 2000
Kelebihan karya sastra tahun 2000:
  1. Pencerminan sebagai karya reformis dimana terjadi revolusi dalam bentuk
  2. Penggunaan tema yang beragam
  3. Kekuatan narasi yang lancer dan mengalir
  4. Banyaknya muncul karya sastra pembangun jiwa
  5. Kejadian menarik yang inspiratif banyak digunakan pengarang dalam menuliskan karyanya
Kekurangan karya sastra tahun 2000:
  1. Banyak munculnya sastra perkelaminan yang cenderung merusak moral bangsa.
  2. Adanya lapisan sastrawan muda dengan ekspresinya yang menggebu-gebu  berkarta secara terbuka, bebas dan tidak terlalu memperhatikan nilai moral yang berkembang di masyarakat.
  3. Beberapa sastrwan cenderung sekuler dan feminis dalam menuliskan karyanya
2.5  Jenis Sastra Yang Berkembang dalam Angkatan 2000
Karya sastra tidak lepas dari perkembangan kultur sosial yang ada dalam masyarakat. Sastra mencatatnya dalam bentuk prosa maupun puisi. Pertanyaan sekarang adalah apakah masyarakat saat ini telah benar-benar vulgar? Ketika sastra mencatat kehidupan dengan kevulgaran yang bagi mereka itu merupakan realita. Demikianlah, sastra wangi yang kemudian muncul di dekade angkatan 2000 ini. Sebagaimana internet menjadi revolusi media kedua setelah penemuan mesin cetak Guttenberg dan ketiga setelah kehadiran televisi. Dan saat itulah munculnya sastra cyber yang menjadi  kekhasan  terkait dengan keberadaan teknologi media.

A.    Sastra Wangi
Tercatat penulis-penulis perempuan banyak yang mengumbar tentang seksualitas yang bagi Taufiq Ismail sudah kelewat batas. Mencermati nama-nama pengarang yang terlibat di dalamnya, kita tahu dari karya-karya Djenar Maesa Ayu lewat kumpulan cerpennya Jangan Main-main dengan Kelaminmu dan novelnya Nayla, Ayu Utami lewat Saman dan Larungnya yang belakangan dari karya tersebut ia mendapat penghargaan dan sejumlah nama lainnya seperti Dinar Rahayu dalam novelnya Ode untuk Leopold von Sacher Masoch, Ana Maryam dalam novelnya Swastika, Ratih Kumala dalam novelnya Tabularasa dan Maya Wulan dalam novelnya Swastika. Karya-karya tersebut terkesan mengumbar persoalan seks dari segala sudut pandang dan alasan yang membuntutinya. Sejarah pun menggambarkan, kesusastaran yang mengakui seks(ualitas) menjadi
peristiwa kesusastaran yang memancing caci-puji dari wilayah kesusastaran dalam
menjelmakan peristiwa kemasyarakatan yang berbuntut pencekalan, penyensoran, dan
pemberangusan.
Sejarah menawarkan bahwa kesusastaran yang mengusung seks(ualitas) mengandung eksperimen dalam konteks kesusastaran dan kemasyarakatan. Reaksi-reaksi itu menjadi bukti bahwa seks(ualitas) maish tabu dikalangan sastra dan masyarakat moderen. Padahal peristiwa intim antartubuh tampil rileks dan polos dalam kesusastaran Jawa tradisional tanpa penolakan dari masyarakatnya dan dijunjung sebagai karya adiluhung (Gatoloco dan Centini, misalnya). Alasan filosofis tak ampuh didakwahkan untuk menginsafkan khalayak yang menuding karya sastra sebagai pornografi dan juga musykil menuntut karya sastra dipandang melulu melalui kaca mata estetika. Alasan alasan itu merupakan cita-cita, idealisme, atau tekad kreativitas kesusastraan. Tabiat kreativitas kerap menolak kemapanan nilai demi kebaruan yang radikal,
sedangkan masyarakat meneguhi tradisi, ajaran, dan tata nilai soal moral-kata selama
berabad-abad. Akibatnya komunikasi kesusastraan yang mengusung seks(ualitas) berubah menjadi konfrontasi. Kesusastraan yang mengusung seks (ualitas) kerap dipandang sebagai pembrontakan terhadap kemapanan dalam kesusastraan dan kemasyarakatan. Pemberontakan itu merupakan isyarat aspiratif kesusastraan yang tak ingin absen mengucapkan kenyataan seks(ualitas).

Walau tahu dihadang ancaman tabu, cita-cita kesusastraan tak mundur atau takluk, sebab ekspresi seks(ualitas) merupakan unsur kehidupan yang penting, mendasar, dan berharga sebagaimana politik ataupun agama. Sementara itu kesusastraan dipahami awam sebagai medium penggali keluhuran, penebar nilai kearifan kolektif. Kesusastraan diharapkan memenuhi kebutuhan manusia pada kebaikan dan kebenaran. Sedangkan kesusastraan modern cenderung menjadi medan eksperimen seni dan cara memandang kenyataan, bukan pelanggeng keyakinan estetis atau pandangan tertentu. Kesusastraan modern tidak hanya menggambarkan kanyataan yang indah dan arif, tapi juga kenyataan yang najis dan bejad. Akibatnya kesusastraan modern kerap dicap sebagai oposisi atau alternatif bagi kemapanan tradisi, nilai, dan pandangan masyarakat maupun aliran kesusastraan tertentu.
Sejarah aliran kesusastraan merupakan interaksi atau pertarungan antara pandangan kesusastraan dengan pandangan kemasyarakatan. Sejarah tumbuhnya aliran realisme yang menginginkan sosok kenyataan yang apa adanya tak bisa lepas dari reaksi terhadap hegemoni aliran romantisisme yang getol merekam kenyataan yang molek dan tata krama agung kaum borjuis.
Secara politis, realisme mendukung cara pandang kaum proletar, dan romantisisme mewakili cara pandang kaum borjuis. Kedua aliran itu berakar pada konsep yang berseberangan dalam memandang kenyataan. Aliran-aliran itu bersaing untuk membentuk kenyataan sesuai konsepnya masing-masing. Kesusastraan yang mengusung seks(ualitas) menyimpan risiko-risiko yang mengakomodasi kesusastraan dan kemasyarakatan berada dalam interaksi yang rawan. Sebab, kemapanan nilai kerap serupa lepra yang dihindari kesusastraan yang haus pembauran dan penjelajahan kreativitas. Dan bagi masyarakat, pemberontakan nilai dalam kesusastraan dianggap bentuk kreativitas terkutuk yang menyesatkan. Masyarakat ingin kemapanan nilai dan perlakuan sastra tak bersepakat dengan itu. Maka kepenyairan acap dicitrakan sebagai dekaden, terkutuk, bid’ah atau subversif karena dianggap mencemari nilai yang suci.
Kreativitas atau pembaruan kesusastraan sering dicap sebagai pemberontakan oleh otoritas tradisi, moral, politik, dan kekuasaan yang terusik egonya, dan keterusikan itu menjadi motif pelanggaran, pencekalan, dan pemberangusan. Sejarah kesusastraan menggambarkan bahwa kontroversi kesusastraan yang mengusung seks(ualitas) menyelenggarakan pertarungan nilai yang melahirkan kekeraskepalaan dan kekompromian, pujian, dan cacian, juga pemenang dan pecundang.
Inilah makna yang penting dan berharga dari kesusastraan yang mengusung masalah
seks(ualitas) alias perkelaminan: tak sebatas urusan bagus-buruk sebagai teks, tapi juga
pandangan bajik-bejad dalam konteks masyarakat.
Sebetulnya dari kalangan lelaki, karya-karya berbau seksualitas pun salah satunya Binhat Nurrahmat. Dalam kumpulan puisinya juga esai-esainya ia seakan-akan membela apa yang disebutnya dengan sastra kelamin. ironis memang, mengingat Binhat merupakan alumnus sebuah pesantren.
Munculnya sastra yang berbau seks ini menuai berbagai pro dan kontra, khususnya dari kalangan sastrawan. Saut Sitomurang dan Wowok Hestiawan lewat jurnal Boemi Poetranya jelas menentang sastra yang berbau seks tersebut. Terlebih lagi, sastra seperti ini didukung sepenuhnya oleh TUK (Teater Utan Kayu) yang sekarang berubah nama menjadi KUK (Komunitas Utan Kayu) yang menurut keyakinan mereka merupakan antek imprealis atau sekutu Amerika. Sastra seperti itu, tidak lain akan merusak moral negeri ini. Menepik semua itu, sebetulnya dalam dekade angkatan 2000 ini. khususnya pengarang perempuan tidak semuanya Pro terhadap sastra yang berbau seks tersebut. Invasi tersebut segera dihadang oleh pengarang-pengarang FLP (Forum Lingkar Pena) khususnya oleh adik-kakak yang ayu dan suka memakai jilbab itu, Asma Nadia dan Helvy Tiana Rosa. Lewat karya-karyanya, nuansa religius dibangun sedemikian rupa sederhana dan terkesan sebagai novel sastra pop. Hal ini berhasil, setidaknya konsumen karya-karya tersebut ikut booming seiring dengan novel teenlit yang juga laris di pasaran.
Selain unsur religuisitas yang berkembang, sastra lokal juga sebetulnya ikut mencuat, hanya saja seakan tertutup dengan kehebohan sastra berbau seks tersebut. Karya-karya Wa Ode Wulan Ratna dalam cerpennya La Runduma bercerita tentang kontradiksi budaya dengan jaman modern. Pengarang lain, Oka Rusmini dalam Tarian Bumi dan Kenanga, Abidah el Khalieqy dalam  Geni Jora. Keduanya membahas tentang kultur budaya lokal masing-masing. Oka di Bali dan Abidah di Jawa.
B.     Sastra Cyber
Sastra cyber merupakan suatu revolusi. Sebagaimana internet menjadi revolusi media kedua setelah penemuan mesin cetak Guttenberg dan ketiga setelah kehadiran televisi. Sebelum munculnya sastra cyber, dunia sastra Indonesia sendiri telah memiliki beberapa kekhasan yang terkait dengan keberadaan teknologi media. Antara lain sastra majalah, sastra koran, dan sebagainya. Ketika biaya publikasi semakin mahal,begitu juga dengan keberadaan sastra koran/majalah dirasa telah membangun hegemoninya sendiri, internet pun datang. Komunitas-komunitas sastra maya mulai muncul. Memanfaatkan teknologi seperti mailing list (milis), situs, forum diskusi, dan kini juga blog, internet menawarkan iklim kebebasan, tanpa sensor. Semua orang boleh memajang karyanya, dan semua boleh mengapresiasinya.
Ironisnya, tantangan di Indonesia justru muncul dari dunia sastra sendiri. Sastra cyber, dengan sifatnya yang bebas itu pernah dituding (baca: dianggap) oleh beberapa pihak sebagai sekadar ajang main-main sehingga karya-karyanya pastilah tak bermutu. Meski demikian,seiring berjalannya waktu, saat ini eksistensi karya sastrawan cyberpun sudah mulai makin diakui, terutama oleh masyarakat, walau untuk apresiasi mungkin masih dipandang sebelah mata oleh sebagian kelompok mapan tersebut. Penggunaan istilah sastra cyber sendiri sudahlah jelas dan gamblang menyatakan jenis medium yang dipakai: medium cyber, persis sama halnya dengan istilah sastra koran, sastra majalah, sastra buku, sastra fotokopian/stensilan, sastra radio, sastra dinding, dan sebagainya.
Jadi semua tulisan sastra yang dipublikasikan melalui medium cyber bolehlah disebut sastra cyber.Pertanyaan berikutnya yang sering mengekori penggunaan istilah sastra cyber adalah masalah estetika atau "nuansa estetika" yang menurut pengamat sastra tidak seperti sastra koran dan sastra majalah yang "memiliki nuansa estetika yang esensial dan bisa diukur". Tidak jelas juga nuansa estetika yang bagaimana yang dimaksud itu.Adakah sebenarnya sastra koran dan majalah memang mengusung gagasan sebuah nuansa estetika yang esensial dan bisa diukur, yang orisina. Benarkah dunia cyber itu eksklusif dalam artian menutup pintu rapat-rapat bagi "orang luar" untuk masuk? Masuklah ke dunia cyber, jangan hanya mengintip, maka anda akan tahu betapa inklusifnya dunia cyber itu. Bandingkan saja dengan komunitas-komunitas sastra di "darat" atau "eksklusivitas" prestise sebuah halaman budaya di suatu koran misalnya. Egalitarian, kebebasan individu, demokrasi yang ditawarkan medium cyber serta kelapangannya dalam mengakomodasi segala jenis manusia dan ragam karya di dalamnya tanpa adanya pintu-pintu terkunci jelas tak bisa dikatakan eksklusif, justru sebaliknya.
Semua sastrawan secara individual harusnya terus bergulat menggali potensi dirinya sendiri dengan media apapun yang dikuasainya. Isolasi ruang gerak sastrawan berdasarkan media yang digunakan tak akan membawa manfaat apa pun, justru kontraproduktif. Justru semestinya sastrawan bisa bergerak di segala media, baik cetak maupun elektronik. Apakah seorang penyair yang biasa menulis puisi di atas kertas wangi lantas akan turun mutu puisinya ketika ia menuliskannya di atas dinding toilet? Kalau seorang penyair hanya bisa mengungkapkan kegelisahan remaja mencari jati dirinya atau kecengengan romatis-emosional tentu bukan karena medianya melainkan karena baru sejauh itulah perjalanan puitik penyair tersebut. Menggeneralisasikan kualitas karya di sastra cyber hanya dari satu-dua karya ditambah dengan presumsi apriori terhadap nama-nama penulisnya yang belum dikenal di dunia sastra sungguh tidak objektif dan semena-mena. Puisi tetaplah puisi, baik ia ditulis oleh seorang penyair "sufi" maupun seorang ateis pemabuk, seorang sarjana sastra maupun seorang juru masak. Di dunia cyber yang bukan penyair pun boleh ambil bagian. Sejauh ini belum ada satupun studi kritis atas karya-karya sastra di internet yang tak terhitung jumlahnya itu. Apakah semua karya tersebut rendah kualitasnya? Pertanyaan tersebut bisa juga berbunyi: apakah semua karya yang dimuat di koran dengan seleksi ketat redaktur itu (dijamin) tinggi kualitasnya?
Tuduhan terhadap sastrawan cyber sebagai sastrawan "pelarian" yang gagal mempertaruhkan nasibnya di media cetak rasanya terlalu menghakimi dan sangat discouraging. Paling tidak, sastrawan cyber menulis secara mandiri dengan konsep "estetika" masing-masing tanpa harus takut pada gunting tajam sosok redaktur. Sungguh kasihan sastrawan yang menyerahkan nasibnya kepada (redaktur) media cetak, seolah-olah hidup-matinya tergantung kepadanya dan karenanya harus "melayani" selera redaktur agar karyanya bisa dimuat. Mungkin sosok almarhum Romo Mangun perlu dilihat kembali. Sastrawan besar ini menolak disebut pengarang "profesional" dan lebih suka disebut pengarang "amatir" karena beliau menulis karena memang mencintai pekerjaan itu, bukan demi uang sebagaimana seorang profesional bekerja. Sastrawan cyber adalah sastrawan "amatir" dalam pengertian "pecinta" itu. Seseorang yang memuat karyanya di internet jelas melakukan hal itu bukan untuk mengharapkan honorarium sebagaimana ketika seorang sastrawan "profesional" mengirimkan karyanya untuk dimuat di koran atau majalah.
Dunia cyber memang bebas. Sebagai konsekuensinya, terhadapnya tak bisa dipakaikan satu acuan nilai saja. Sebagai dunia dengan ragam nilai, ragam kriteria, ragam standar, ia tak bisa semata dilihat dengan satu kacamata saja. Pembaca cyber yang sudah merasakan dan memahami psikologi dunia maya umumnya terbiasa dengan cara pandang multifaset seperti itu dan karenanya mereka cukup kritis memilih apa yang ingin mereka baca atau mereka lewati. Mungkin kini saatnya sastrawan dan, terutama, kritikus sastra kita membiasakan diri untuk menyediakan lebih dari satu kacamata, agar tidak mudah silap dalam membaca hal-hal tsb. Selain permasalahan di atas, minimnya keterlibatan komunitas kampus dalam mendirikan pusat-pusat kajian media digital. Baik yang terintegrasi ke dalam struktur formal pengajaran kampus dan mewujud sebuah silabus, atau ke dalam bentuk dukungan informal pendirian lembaga-lembaga seperti ELO atau EPC yang masing-masing didukung oleh UCLA dan SUNY Buffalo. Kalau pun pusat-pusat kajian seperti itu ternyata sudah berdiri di (beberapa) universitas di Indonesia, hasil kajian mereka masih belum terpublikasi luas, apalagi bisa dijadikan sebagai acuan untuk menelaah profil sastra elektronik (sasel) Indonesia. Bahaya dari minimnya kajian media digital seperti ini adalah digunakannya istilah-istilah yang sesungguhnya sudah baku dalam komunitas teknologi internasional, namun diterapkan dengan tidak tepat oleh sebagian komunitas sastra di sini. Kesalahan yang paling mendasar dan umum ditemui adalah sebutan cyborg sebagai kata ganti bagi "orang-orang yang aktif di dunia cyber, khususnya aktivis sastra cyber."
Kenaifan seperti ini sangat mengkhawatirkan mengingat sudah luas diketahui bahwa  cyborg adalah kependekan dari cybernetic organism, istilah yang pertama kali diciptakan Manfred Clynes dan Nathan Kline untuk merujuk pada organisme yang mengintegrasikan sistem natural dan artifisial dalam metabolisme tubuhnya. Anakin Skywalker/Darth Vader dari film Star Wars adalah contoh cyborg paling terkenal dari budaya populer. Sampai saat ini minat para akademisi, dalam hal ini para guru besar sastra, atau para kritikus sastra Indonesia, untuk terlibat dalam sebuah perbincangan konstruktif tentang sastra cyber belum  terdeteksi. Agak sulit membayangkan di Indonesia akan bisa terjadi sebuah diskusi hangat yang mencerahkan antara figur-figur di kubu narratology semacam George Landow atau Katherine Hayles di satu pihak yang khatam ilmu sastra era Victoria namun juga intens mengamati perkembangan sastra digital, menghadapi para guru besar (dan calon guru besar) di kubu ludology yang berada di usia 40-an seperti Espen Aarseth atau Nick Montfort, yang melewatkan masa remaja mereka bersama Lara Croft dariTomb Raider.

2.6  Idiologi Feminisme dalam Sastra Angkatan 2000
Apabila dibandingkan dengan angkatan 1970, maka apa yang dilakukan oleh pengarang perempuan angkatan 2000 telah mengalami lompatan yang cukup jauh. Meskipun masih menyuarakan ketertindasan isu-isu ketertindasan perempuan, dalam Angkatan 2000 umumnya pesan ideologi feminisme yang disampaikan tidak sampai menceramahi dan terkesan memarahi pembaca. Terkadang hanya isyarat tubuh dan tanpa banyak kata seorang tokoh perempuan dapat dengan mudahnya mengalahkan laki-laki dari berbagai bidang tidak terkecuali dalam hubungan seksual seperti yang berkembang pada karya sastra sekarang yakni ditahun 2000-an. Di masa sekarang, khususnya setelah terjadi reformasi pada media 1998, karya-karya pengarang perempuan juga lebih berani dan terbuka dalam bersikap.
Perihal seksualitas yang selalu diungkapkan dalam banyak kara sastra pengarang perempuan Angkatan 2000 menjadi perdebatan hangat dikalangan sastrawan, kritikus, dan pembaca sastra pada umunya. Ada yang memaklumi karena hal tersebut bagian dari kehidupan yang  banyak terjadi dalam kehidupan nyata dan tidak perlu ditutup-tutupi. Sebagian lain kurang menyetujui karena dianggap karya-karya yang fulgar dengan mengatasnamakan seni. Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, misalnya. Mereka contoh para pengarang perempuan dari angkatan 2000 yang selalu merepresentasikan kehidupan seksulitas tokoh-tokohnya. Permasalahan kehidupan sosial, politik, dan budaya sepertinya juga ingin dikemukakan juga. Pengarang yang  juga termasuk dalam  sastrawan  2000 ini sangat menjaga jarak dengan tema-tema seputar aktivitas seksualita.
Seiring dengan arus globalisasi dunia disamping pendidikan pengarang perenpuan masa kini yang semakin tinggi membuat para pengarang perempuan tersebut semakin maju pola pikirnya. Tentu saja hal tersebut turut memengaruhi cara mereka menyuarakan isu-isu ketertindasan perempuan. Karya-karya mereka menurut banyak kalangan pemerhati sastra, dirasakan telah berhasil mendobrak keterkungkungan perempuan dan nilai-nilai patriarkis melalui ekspresi dan gaya bahasa yang digunakan. Mengenai penggambaran seksualitas yang demikian terbuka, mengindikasikan kekuasaan yang ingin ditampilkan oleh para pengarang perempuan tersebut. Hal tersebut juga bisa dilihat dari kehidupan nyata. Sangat banyak kaum laki-laki takluk dan tidak berdaya menahan godaan dari kaum perempuan. Meski mendapatkan banyak kritikan dari pengamatan sastra karena banyak mendiskripsikan aktivitas seksualitas, tidak membuat para feminis risih karena mereka beranggapan bahwa hal tersebut sebenarnya merupakan simbol kedigdayaan perempuan.
Hal yang menyebabkan pergeseran ideologi feminisme antara angkatan tersebut di antaranya karena perjuagan kaum perempuan masa kini yang ingin benar-benar dihargai sebagai perempuan dan tidak ingin dijadikan makhluk kelas dua yang terpinggirkan. Mereka memiliki kemampuan untuk mandiri meski terkadang tanpa dukungan dari laki-laki.



Bab III
Penutup
3.1       Kesimpulan
1)                  Angkatan 2000 lahir karena  ketidak berhasilannya sastra angkata reformasi yang disebabkan  tidak adanya   ‘Juru bicara’ . Dan oleh karena itu Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan 2000
2)      Peristiwa penting dalam angkatan 2000
a)      Terbitnya Jurnal Cerpen (2002) oleh Joni Ariadinata,dkk.
b)      Lomba Sayembata Menulis Novel,Dewan Kesenian Jakarta (2003).
c)      Kongres cerpen yang dilaksanakan secara berkala 2 tahun sekali.
d)      Cybersastra.
3)      Ciri-ciri sastra angkatan 2000
a)      Tema sosial-politik, romantik.
b)       Pilihan kata diambil dari bahasa sehari-hari
c)      Tata wajah yang bebas aturan dan cenderung ke puisi konkre.
d)     Penggunaan estetika
e)      Karya-karyanya profetik (keagamaan/religius)
f)       Kritik social juga muncul lebih keras.
4)      Kelebihan dan kekurangan sastra angkatan 2000
Kelebihan karya sastra tahun 2000:
1.      Pencerminan sebagai karya reformis dimana terjadi revolusi dalam bentuk
2.      Penggunaan tema yang beragam
3.      Kekuatan narasi yang lancer dan mengalir
4.      Banyaknya muncul karya sastra pembangun jiwa
5.      Kejadian menarik yang inspiratif banyak digunakan pengarang dalam menuliskan karyanya.
Kekurangan karya sastra tahun 2000:
2.7  Banyak munculnya sastra perkelaminan yang cenderung merusak moral bangsa.
2.8  Adanya lapisan sastrawan muda dengan ekspresinya yang menggebu-gebu  berkarta secara terbuka, bebas dan tidak terlalu memperhatikan nilai moral yang berkembang di masyarakat.

5)      Sastra yang berkembang
a)      Sastra wangi
b)      Cyber sastra
6)      Idiologi feminism dalam sastra angkatan 2000
Ideologi feminisme yang disampaikan dalam sastra angkatan 2000 tidak sampai menceramahi dan terkesan memarahi pembaca. Terkadang hanya isyarat tubuh dan tanpa banyak kata seorang tokoh perempuan dapat dengan mudahnya mengalahkan laki-laki dari berbagai bidang tidak terkecuali dalam hubungan seksual seperti yang berkembang pada karya sastra sekarang yakni ditahun 2000-an.
3.2       Saran
            Dalam mempelajari sejarah sastra angkatan 2000 harus dengan bimbingan dosen agar lebih memahami materi bacaan yang ada, karana banyaknya kalimat yang sulit untuk kita pahami.










Daftar Pustaka
http://alifaozi.blogspot.com/2011/04/artikel-sastra-pasca-reformasi.html
http://artikel_detail-78440-task%20-PERIODE%20ANGKATAN%202000.html
http://blogriyanto.blogspot.com/2010/06/karakteritik-satra-reformasi.html
 http://Makalah%20sejarah%20sastra%20%28sastra%20pascareformasi%29%20_%20Sutimbang%20Ngawan.htm
http://nama-kelompok-angkatan-2000-1.html
http://periode-angkatan-2000-1990-2000.html
Rampan, Korrie Layun, 2000. Angkatan 2000 Dalam Sastra Indonesia,. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.