Sejarah Sastra Angkatan 2000
Makalah
Disusun oleh:
Yulias Anggraini
(130210402072)
Luluk Belgis
Nuril A (130210402088)
Hesti Rahayu (130210402092)
Yemima Sana P.
(1302104020 )
Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas
Jember
2014
Bab
I. Pendahuluan
1.1
Latar Belakang
Sastra Angkatan 2000 atau sering disebut dengan sastra
mutakhir (Dekade 90-an dan Angkatan 2000). Memasuki era Reformasi yang sangat
anti KKN dan praktik otoriter, penuh kebebasan ekspresi dan pemikiran,
mengandung renungan religiusitas dan nuansa-nuansa sufistik. Menampilkan
euphoria menyuarakan hati nurani dan akal sehat untuk pencerahan kehidupan
multidimensional. Pada masa angkatan 2000 ini banyak sekali muncul
pengarang wanita. Mereka umumnya menulis dengan ungkapan perasaan dan pikiran
yang tajam dan bebas. Ada di antara mereka yang sangat berani menampilkan
nuansa-nuansa erotik, hal-hal yang sensual bahkan seksual, yang justru lebih
berani dibandingkan para sastrawan seumumnya.
Adapun para sastrawati Angkatan 2000 antara lain: Ayu Utami,
Jenar Mahesa Ayu, Fira Basuki, Herlinaties, Nukila Amal, Linda Kristianti,
Ratih Kumala, Oka Rusmini, dan lain-lain. Di antara mereka yang mengusung
ideology kebebasan wanita (woman libs) yang dulu pernah dilakukan oleh Nh. Dini
(namun ungkapan-ungkapan Dini tetap literik, tidak vulgar). Sebenarnya minus
idiom-idiom vulgar karya mereka termasuk berbobot, seperti juga prosa liris
karya Linus Suryadi berjudul Pengakuan Pariyem . Di bagian-bagian
tertentu karya Jenar Mahesa Ayu dan Ayu Utami bahkan sangat puitis serta
filosofis, menampilkan ungkapan-ungkapan yang bernas dan cerdas, dengan
imajinasi-imajinasi yang kaya renungan, mungkin juga humanis dan religius. Jadi
mengandung hal-hal yang kontrovesial.
Nama ini diberikan Korrie Layun Rampan pada sejumlah
pengarang dan penyair yang telah melahirkan wawasan estetik baru pada tahun
90-an. Korrie berkata, “ Afrizal Malna melansir estetik baru yang digali dari
sifat missal benda-benda dan manusia yang dihubungkan dengan peristiwa tertentu
dan interaksi missal. Estetik missal ini merupakan penemuan Afrizal yang unik
dalam sastra Indonesia.
1.2
Rumusan masalah
1) Apakah yang melatar belakangi lahirnya sastra
angkatan 2000?
2) Peristiwa
penting apakah yang terjadi dalam sastra angkatan 2000?
3) Apakah
ciri ciri angkatan 2000?
4) Apa
sajakah kekurangan dan kelebihan angkatan
2000?
5) Sastra
apa saja yang berkembang dalam angkatan 2000?
6) Aakah
ada pengaruh idiologi feminism dalam karya sastra angkatan 2000?
1.3
Tujuan
1. Agar
mahasiswa mengetahui sejarah lahirnya tentang sastra angkata 2000
2. Agar
mahasiswa lebih mudah memahami konsep yang di usung dalam sastra nagkatan 2000.
Bab II
Pembahasan
2.1
Latar
Belakang Lahirnya Angkatan 2000
Setelah wacana tentang lahirnya
sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena
tidak memiliki ‘Juru bicara’ . Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar
wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan 2000. Sebuah buku tebal yang diterbitkan
oleh Gramedia Jakarta tahun 2002, seratus lebih penyaiir, cerpennis, novelis,
esais dan kritikus sastra dimasukan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk
mereka yang sudah mulai menulis sejak tahun 1980-an, seperti Afrisal Malna,
Abmadun Yossi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma. Serta yang muncul pada akhir
tahun 1990-an seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany. Menurut
Korrie,Afrisal Malna melansir estetik baru yang digali dari sifat missal
benda-benda dan manusia yang dihubungkan dengan peristiwa tertentu dari
interaksi missal. Setelah terjadi reformasi, ruang gerak masyarakat pada
awalnya merasa selalu dibekap dan terganjal oleh gaya pemerintahan Orde Baru
yang represif tiba-tiba memperoleh saluran kebebasan yang leluasa.
Kesusastraan seperti dalam sebuah pentas terbuka dan luas. Para pemainnya boleh berbuat dan melakukan apa saja namun ada suasana tertentu yang mematangkannya. Angkatan 2000 adalah nama yang diberikan oleh Korrie Layun Rampan. Ada sejumlah pengarang yang melahirkan wawasan estetik baru pada tahun 1990-an dan tokoh-tokoh Angkatan ini adalah
Kesusastraan seperti dalam sebuah pentas terbuka dan luas. Para pemainnya boleh berbuat dan melakukan apa saja namun ada suasana tertentu yang mematangkannya. Angkatan 2000 adalah nama yang diberikan oleh Korrie Layun Rampan. Ada sejumlah pengarang yang melahirkan wawasan estetik baru pada tahun 1990-an dan tokoh-tokoh Angkatan ini adalah
1)
Afrisal Malna
2)
Seno Gumira Ajidarma
3)
Ayu Utami
2.2
Peristiwa Besar yang Terjadi pada Angkatan 2000
Berikut adalah momen penting yang
terjadi sepanjang periode ini :
1) 2000: Korrie Layun Rampan mengumumkan
adanya Angkatan 2000. H.B. Jassin meninggal di Jakarta. Buku Aku Ingin Jadi
Peluru karya Wiji Thukul terbit.
2) 2001: Mulai 2001, penghargaan Khatulistiwa
Literary Award (KLA) diberikan kepada sastrawan yang menghasilkan karya sastra
terbaik. Mereka yang pernah mendapatkan penghargaan ini antara lain Goenawan
Mohamad, Remy Sylado, Hamsad Rangkuti, Seno Gumira Ajidarma, Linda Christanty,
Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, Gus tf., Acep Zamzam Noor.
3) 2002: Majalah Horison menerbitkan
buku Horison Sastra Indonesia yang terdiri dari empat kitab, yakni kitab
puisi, cerpen, novel, dan drama. Dalam buku ini, Hamzah Fansuri yang hidup di
abad ke-17 dimasukkan sebagai sastrawan Indonesia yang pertama.
4) Terbitnya
Jurnal Cerpen (2002) oleh Joni Ariadinata,dkk.
5) Lomba
Sayembata Menulis Novel,Dewan Kesenian Jakarta (2003).
6) Kongres
cerpen yang dilaksanakan secara berkala 2 tahun sekali.
7) Cybersastra.
8) 2003: Sapardi Djoko Damono dan Ignas
Kleden mendapat penghargaan Ahmad Bakrie Award karena jasanya di bidang
kesusastraan dan pemikiran. Sastrawan dan intelektual yang menerima penghargaan
yang sama pada tahun-tahun berikutnya adalah Goenawan Mohamad, Nurcholish
Madjid, Budi Darma, Sartono Kartodirdjo. Frans Magnis Soeseno yang seharusnya
mendapatkan penghargaan tersebut menolak karena keterkaitan perusahaan Bakrie
dengan bencana Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.
9) 2004: Pemilihan presiden secara langsung
yang dilakukan pertama kali di Indonesia. Soesilo Bambang Yudhoyono terpilih
sebagai presiden, mengalahkan Megawati. Di dunia sastra, para sastrawan muda
mendeklarasikan lahirnya generasi sastrawan cyber. Sastra di internet merupakan
terobosan baru bagi para sastrawan untuk berekspresi dan mempublikasikan
karyanya secara bebas. Novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman
El Shirazy terbit. Yayasan Lontar mendokumentasikan biografi sastrawan
Indonesia, di antaranya Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi, Ahmad Tohari, Umar
Kayam, Sapardi Djoko Damono, Sutan Takdir Alisjahbana, Putu Oka Sukanta, dan
lain-lain. Aktivis HakAsasi Manusia (HAM) Munir
dibunuh. Buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan karya Ignas Kleden
terbit.
10) 2005: Novel Laskar Pelangi karya
Andrea Hirata terbit. Novel ini dan novel Ayat-ayat Cinta menjadi novel
paling laris (best seller) dalam sejarah penerbitan novel di Indonesia.
Kedua novel ini juga ditransformasi ke film.
11) Festival Seni
Surabaya (2005)
12) 2006: Yayasan Lontar menerbitkan Antologi
Drama Indonesia: 1895-2000. Penerbitan buku ini menunjukkan bahwa sejarah
sastra Indonesia bukan dimulai pada 1920, melainkan pada 1895. Anton Kurnia
menerbitkan Ensiklopedi Sastra Dunia.
13) 2007: Novel Kalatidha karya Seno
Gumira Ajidarma terbit. Buku kumpulan puisi Otobiografi karya Saut
Situmorang terbit. Saut adalah salah satu sastrawan yang menggerakkan sastra
cyber, sastrawan Ode Kampung, dan majalah Boemipoetra.
14) 2008: Buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang
dicetak ulang dan buku-buku korban tragedi 1965 yang ingin meluruskan sejarah
marak di toko-toko buku, dan menjadi buku laris. Misalnya, Suara Perempuan
Korban Tragedi 65 karya Ita F. Nadia
2.3
Ciri-ciri karya sastra angkatan 2000
1. Tema sosial-politik, romantik, masih
mewarnai tema karya sastra
2. Pilihan kata diambil dari bahasa sehari-hari
yang disebut bahasa ‘kerakyatjelataan’.
3. Revolusi
tipografi atau tata wajah yang bebas aturan dan cenderung ke puisi konkre.
4. Penggunaan
estetika baru yang disebut “antromofisme” (gaya bahasa berupa penggantian tokoh
manusia sebagai ‘aku lirik’ dengan benda-benda)
5. Karya-karyanya
profetik (keagamaan/religius) dengan kecenderungan menciptakan penggambaran
yang lebih konkret melalui alam.
6. Kritik
social juga muncul lebih keras.
7. Banyak muncul kaum perempuan
8. Disebut angkatan modern
9. Karya sastra lebih marak lagi,
termasuk adanya sastra koran, contohnya dalam H.U. Pikiran Rakyat.
10. Adanya sastra bertema gender,
perkelaminan, seks, feminism
11. Banyak muncul karya populer atau
gampang dicerna, dipahami pembaca
12. Muncul cyber sastra di Internet.
2.4
Kekurangan dan Kelebihan Sastra
Angkatan 2000
Kelebihan karya sastra tahun 2000:
- Pencerminan sebagai karya reformis dimana terjadi revolusi dalam bentuk
- Penggunaan tema yang beragam
- Kekuatan narasi yang lancer dan mengalir
- Banyaknya muncul karya sastra pembangun jiwa
- Kejadian menarik yang inspiratif banyak digunakan pengarang dalam menuliskan karyanya
Kekurangan
karya sastra tahun 2000:
- Banyak munculnya sastra perkelaminan yang cenderung merusak moral bangsa.
- Adanya lapisan sastrawan muda dengan ekspresinya yang menggebu-gebu berkarta secara terbuka, bebas dan tidak terlalu memperhatikan nilai moral yang berkembang di masyarakat.
- Beberapa sastrwan cenderung sekuler dan feminis dalam menuliskan karyanya
2.5
Jenis Sastra Yang Berkembang dalam
Angkatan 2000
Karya sastra tidak lepas dari
perkembangan kultur sosial yang ada dalam masyarakat. Sastra mencatatnya dalam
bentuk prosa maupun puisi. Pertanyaan sekarang adalah apakah masyarakat saat
ini telah benar-benar vulgar? Ketika sastra mencatat kehidupan dengan
kevulgaran yang bagi mereka itu merupakan realita. Demikianlah, sastra wangi
yang kemudian muncul di dekade angkatan 2000 ini. Sebagaimana internet menjadi
revolusi media kedua setelah penemuan mesin cetak Guttenberg dan ketiga setelah
kehadiran televisi. Dan saat itulah munculnya sastra cyber yang
menjadi kekhasan terkait dengan keberadaan teknologi media.
A.
Sastra
Wangi
Tercatat
penulis-penulis perempuan banyak yang mengumbar tentang seksualitas yang bagi
Taufiq Ismail sudah kelewat batas. Mencermati nama-nama pengarang yang terlibat
di dalamnya, kita tahu dari karya-karya Djenar Maesa Ayu lewat kumpulan
cerpennya Jangan Main-main dengan Kelaminmu dan novelnya Nayla, Ayu Utami lewat
Saman dan Larungnya yang belakangan dari karya tersebut ia mendapat penghargaan
dan sejumlah nama lainnya seperti Dinar Rahayu dalam novelnya Ode untuk Leopold
von Sacher Masoch, Ana Maryam dalam novelnya Swastika, Ratih Kumala dalam
novelnya Tabularasa dan Maya Wulan dalam novelnya Swastika. Karya-karya
tersebut terkesan mengumbar persoalan seks dari segala sudut pandang dan alasan
yang membuntutinya. Sejarah
pun menggambarkan, kesusastaran yang mengakui seks(ualitas) menjadi
peristiwa kesusastaran yang memancing caci-puji dari wilayah kesusastaran dalam
menjelmakan peristiwa kemasyarakatan yang berbuntut pencekalan, penyensoran, dan
pemberangusan.
peristiwa kesusastaran yang memancing caci-puji dari wilayah kesusastaran dalam
menjelmakan peristiwa kemasyarakatan yang berbuntut pencekalan, penyensoran, dan
pemberangusan.
Sejarah menawarkan bahwa
kesusastaran yang mengusung seks(ualitas) mengandung eksperimen dalam konteks
kesusastaran dan kemasyarakatan. Reaksi-reaksi itu menjadi bukti bahwa
seks(ualitas) maish tabu dikalangan sastra dan masyarakat moderen. Padahal
peristiwa intim antartubuh tampil rileks dan polos dalam kesusastaran Jawa
tradisional tanpa penolakan dari masyarakatnya dan dijunjung sebagai karya
adiluhung (Gatoloco dan Centini, misalnya). Alasan filosofis tak ampuh
didakwahkan untuk menginsafkan khalayak yang menuding karya sastra sebagai
pornografi dan juga musykil menuntut karya sastra dipandang melulu melalui kaca
mata estetika. Alasan alasan itu merupakan cita-cita, idealisme, atau tekad
kreativitas kesusastraan. Tabiat kreativitas kerap menolak
kemapanan nilai demi kebaruan yang radikal,
sedangkan masyarakat meneguhi tradisi, ajaran, dan tata nilai soal moral-kata selama
berabad-abad. Akibatnya komunikasi kesusastraan yang mengusung seks(ualitas) berubah menjadi konfrontasi. Kesusastraan yang mengusung seks (ualitas) kerap dipandang sebagai pembrontakan terhadap kemapanan dalam kesusastraan dan kemasyarakatan. Pemberontakan itu merupakan isyarat aspiratif kesusastraan yang tak ingin absen mengucapkan kenyataan seks(ualitas).
sedangkan masyarakat meneguhi tradisi, ajaran, dan tata nilai soal moral-kata selama
berabad-abad. Akibatnya komunikasi kesusastraan yang mengusung seks(ualitas) berubah menjadi konfrontasi. Kesusastraan yang mengusung seks (ualitas) kerap dipandang sebagai pembrontakan terhadap kemapanan dalam kesusastraan dan kemasyarakatan. Pemberontakan itu merupakan isyarat aspiratif kesusastraan yang tak ingin absen mengucapkan kenyataan seks(ualitas).
Walau tahu dihadang ancaman tabu,
cita-cita kesusastraan tak mundur atau takluk, sebab ekspresi seks(ualitas)
merupakan unsur kehidupan yang penting, mendasar, dan berharga sebagaimana
politik ataupun agama. Sementara itu kesusastraan dipahami awam sebagai medium
penggali keluhuran, penebar nilai kearifan kolektif. Kesusastraan diharapkan memenuhi
kebutuhan manusia pada kebaikan dan kebenaran. Sedangkan kesusastraan modern
cenderung menjadi medan eksperimen seni dan cara memandang kenyataan, bukan pelanggeng
keyakinan estetis atau pandangan tertentu. Kesusastraan modern tidak hanya menggambarkan
kanyataan yang indah dan arif, tapi juga kenyataan yang najis dan bejad. Akibatnya
kesusastraan modern kerap dicap sebagai oposisi atau alternatif bagi kemapanan tradisi,
nilai, dan pandangan masyarakat maupun aliran kesusastraan tertentu.
Sejarah aliran kesusastraan
merupakan interaksi atau pertarungan antara pandangan kesusastraan dengan
pandangan kemasyarakatan. Sejarah tumbuhnya aliran realisme yang menginginkan
sosok kenyataan yang apa adanya tak bisa lepas dari reaksi terhadap hegemoni aliran
romantisisme yang getol merekam kenyataan yang molek dan tata krama agung kaum
borjuis.
Secara politis, realisme mendukung
cara pandang kaum proletar, dan romantisisme mewakili cara pandang kaum
borjuis. Kedua aliran itu berakar pada konsep yang berseberangan dalam
memandang kenyataan. Aliran-aliran itu bersaing untuk membentuk kenyataan
sesuai konsepnya masing-masing. Kesusastraan yang mengusung seks(ualitas)
menyimpan risiko-risiko yang mengakomodasi kesusastraan dan kemasyarakatan
berada dalam interaksi yang rawan. Sebab, kemapanan nilai kerap serupa lepra
yang dihindari kesusastraan yang haus pembauran dan penjelajahan kreativitas.
Dan bagi masyarakat, pemberontakan nilai dalam kesusastraan dianggap bentuk
kreativitas terkutuk yang menyesatkan. Masyarakat ingin kemapanan nilai dan
perlakuan sastra tak bersepakat dengan itu. Maka kepenyairan acap dicitrakan
sebagai dekaden, terkutuk, bid’ah atau subversif karena dianggap mencemari
nilai yang suci.
Kreativitas atau pembaruan
kesusastraan sering dicap sebagai pemberontakan oleh otoritas tradisi, moral,
politik, dan kekuasaan yang terusik egonya, dan keterusikan itu menjadi motif
pelanggaran, pencekalan, dan pemberangusan. Sejarah kesusastraan menggambarkan
bahwa kontroversi kesusastraan yang mengusung seks(ualitas) menyelenggarakan
pertarungan nilai yang melahirkan kekeraskepalaan dan kekompromian, pujian, dan
cacian, juga pemenang dan pecundang.
Inilah makna yang penting dan berharga dari kesusastraan yang mengusung masalah
seks(ualitas) alias perkelaminan: tak sebatas urusan bagus-buruk sebagai teks, tapi juga
pandangan bajik-bejad dalam konteks masyarakat. Sebetulnya dari kalangan lelaki, karya-karya berbau seksualitas pun salah satunya Binhat Nurrahmat. Dalam kumpulan puisinya juga esai-esainya ia seakan-akan membela apa yang disebutnya dengan sastra kelamin. ironis memang, mengingat Binhat merupakan alumnus sebuah pesantren.
Inilah makna yang penting dan berharga dari kesusastraan yang mengusung masalah
seks(ualitas) alias perkelaminan: tak sebatas urusan bagus-buruk sebagai teks, tapi juga
pandangan bajik-bejad dalam konteks masyarakat. Sebetulnya dari kalangan lelaki, karya-karya berbau seksualitas pun salah satunya Binhat Nurrahmat. Dalam kumpulan puisinya juga esai-esainya ia seakan-akan membela apa yang disebutnya dengan sastra kelamin. ironis memang, mengingat Binhat merupakan alumnus sebuah pesantren.
Munculnya
sastra yang berbau seks ini menuai berbagai pro dan kontra, khususnya dari
kalangan sastrawan. Saut Sitomurang dan Wowok Hestiawan lewat jurnal Boemi
Poetranya jelas menentang sastra yang berbau seks tersebut. Terlebih lagi,
sastra seperti ini didukung sepenuhnya oleh TUK (Teater Utan Kayu) yang
sekarang berubah nama menjadi KUK (Komunitas Utan Kayu) yang menurut keyakinan
mereka merupakan antek imprealis atau sekutu Amerika. Sastra seperti itu, tidak
lain akan merusak moral negeri ini. Menepik semua itu, sebetulnya dalam dekade
angkatan 2000 ini. khususnya pengarang perempuan tidak semuanya Pro terhadap
sastra yang berbau seks tersebut. Invasi tersebut segera dihadang oleh
pengarang-pengarang FLP (Forum Lingkar Pena) khususnya oleh adik-kakak yang ayu
dan suka memakai jilbab itu, Asma Nadia dan Helvy Tiana Rosa. Lewat
karya-karyanya, nuansa religius dibangun sedemikian rupa sederhana dan terkesan
sebagai novel sastra pop. Hal ini berhasil, setidaknya konsumen karya-karya
tersebut ikut booming seiring dengan novel teenlit yang juga laris di pasaran.
Selain
unsur religuisitas yang berkembang, sastra lokal juga sebetulnya ikut mencuat,
hanya saja seakan tertutup dengan kehebohan sastra berbau seks tersebut.
Karya-karya Wa Ode Wulan Ratna dalam cerpennya La Runduma bercerita tentang
kontradiksi budaya dengan jaman modern. Pengarang lain, Oka Rusmini dalam
Tarian Bumi dan Kenanga, Abidah el Khalieqy dalam Geni Jora. Keduanya
membahas tentang kultur budaya lokal masing-masing. Oka di Bali dan Abidah di
Jawa.
B.
Sastra Cyber
Sastra cyber merupakan suatu revolusi. Sebagaimana
internet menjadi revolusi media kedua setelah penemuan mesin cetak Guttenberg
dan ketiga setelah kehadiran televisi. Sebelum munculnya sastra cyber,
dunia sastra Indonesia sendiri telah memiliki beberapa kekhasan yang terkait
dengan keberadaan teknologi media. Antara lain sastra majalah, sastra koran,
dan sebagainya. Ketika biaya publikasi semakin mahal,begitu juga dengan
keberadaan sastra koran/majalah dirasa telah membangun hegemoninya sendiri,
internet pun datang. Komunitas-komunitas sastra maya mulai muncul. Memanfaatkan
teknologi seperti mailing list (milis), situs, forum diskusi, dan kini juga
blog, internet menawarkan iklim kebebasan, tanpa sensor. Semua orang boleh
memajang karyanya, dan semua boleh mengapresiasinya.
Ironisnya, tantangan di Indonesia justru muncul dari
dunia sastra sendiri. Sastra cyber, dengan sifatnya yang bebas itu pernah
dituding (baca: dianggap) oleh beberapa pihak sebagai sekadar ajang main-main
sehingga karya-karyanya pastilah tak bermutu. Meski demikian,seiring
berjalannya waktu, saat ini eksistensi karya sastrawan cyberpun sudah mulai
makin diakui, terutama oleh masyarakat, walau untuk apresiasi mungkin masih
dipandang sebelah mata oleh sebagian kelompok mapan tersebut. Penggunaan
istilah sastra cyber sendiri sudahlah jelas dan gamblang menyatakan jenis
medium yang dipakai: medium cyber, persis sama halnya dengan istilah sastra koran,
sastra majalah, sastra buku, sastra fotokopian/stensilan, sastra radio, sastra
dinding, dan sebagainya.
Jadi semua tulisan sastra yang dipublikasikan
melalui medium cyber bolehlah disebut sastra cyber.Pertanyaan berikutnya yang
sering mengekori penggunaan istilah sastra cyber adalah masalah estetika atau
"nuansa estetika" yang menurut pengamat sastra tidak seperti sastra
koran dan sastra majalah yang "memiliki nuansa estetika yang esensial dan
bisa diukur". Tidak jelas juga nuansa estetika yang bagaimana yang
dimaksud itu.Adakah sebenarnya sastra koran dan majalah memang mengusung
gagasan sebuah nuansa estetika yang esensial dan bisa diukur, yang orisina.
Benarkah dunia cyber itu eksklusif dalam artian menutup pintu rapat-rapat bagi
"orang luar" untuk masuk? Masuklah ke dunia cyber, jangan hanya
mengintip, maka anda akan tahu betapa inklusifnya dunia cyber itu. Bandingkan
saja dengan komunitas-komunitas sastra di "darat" atau
"eksklusivitas" prestise sebuah halaman budaya di suatu koran
misalnya. Egalitarian, kebebasan individu, demokrasi yang ditawarkan medium
cyber serta kelapangannya dalam mengakomodasi segala jenis manusia dan ragam
karya di dalamnya tanpa adanya pintu-pintu terkunci jelas tak bisa dikatakan
eksklusif, justru sebaliknya.
Semua sastrawan secara individual harusnya terus
bergulat menggali potensi dirinya sendiri dengan media apapun yang dikuasainya.
Isolasi ruang gerak sastrawan berdasarkan media yang digunakan tak akan membawa
manfaat apa pun, justru kontraproduktif. Justru semestinya sastrawan bisa
bergerak di segala media, baik cetak maupun elektronik. Apakah seorang penyair
yang biasa menulis puisi di atas kertas wangi lantas akan turun mutu puisinya
ketika ia menuliskannya di atas dinding toilet? Kalau seorang penyair hanya
bisa mengungkapkan kegelisahan remaja mencari jati dirinya atau kecengengan
romatis-emosional tentu bukan karena medianya melainkan karena baru sejauh
itulah perjalanan puitik penyair tersebut. Menggeneralisasikan kualitas karya
di sastra cyber hanya dari satu-dua karya ditambah dengan presumsi apriori
terhadap nama-nama penulisnya yang belum dikenal di dunia sastra sungguh tidak
objektif dan semena-mena. Puisi tetaplah puisi, baik ia ditulis oleh seorang
penyair "sufi" maupun seorang ateis pemabuk, seorang sarjana sastra
maupun seorang juru masak. Di dunia cyber yang bukan penyair pun boleh ambil
bagian. Sejauh ini belum ada satupun studi kritis atas karya-karya sastra di
internet yang tak terhitung jumlahnya itu. Apakah semua karya tersebut rendah
kualitasnya? Pertanyaan tersebut bisa juga berbunyi: apakah semua karya yang
dimuat di koran dengan seleksi ketat redaktur itu (dijamin) tinggi kualitasnya?
Tuduhan terhadap sastrawan cyber sebagai sastrawan
"pelarian" yang gagal mempertaruhkan nasibnya di media cetak rasanya
terlalu menghakimi dan sangat discouraging. Paling tidak, sastrawan cyber
menulis secara mandiri dengan konsep "estetika" masing-masing tanpa
harus takut pada gunting tajam sosok redaktur. Sungguh kasihan sastrawan yang
menyerahkan nasibnya kepada (redaktur) media cetak, seolah-olah hidup-matinya
tergantung kepadanya dan karenanya harus "melayani" selera redaktur
agar karyanya bisa dimuat. Mungkin sosok almarhum Romo Mangun perlu dilihat
kembali. Sastrawan besar ini menolak disebut pengarang "profesional"
dan lebih suka disebut pengarang "amatir" karena beliau menulis
karena memang mencintai pekerjaan itu, bukan demi uang sebagaimana seorang
profesional bekerja. Sastrawan cyber adalah sastrawan "amatir" dalam
pengertian "pecinta" itu. Seseorang yang memuat karyanya di internet
jelas melakukan hal itu bukan untuk mengharapkan honorarium sebagaimana ketika
seorang sastrawan "profesional" mengirimkan karyanya untuk dimuat di
koran atau majalah.
Dunia cyber memang bebas. Sebagai konsekuensinya,
terhadapnya tak bisa dipakaikan satu acuan nilai saja. Sebagai dunia dengan
ragam nilai, ragam kriteria, ragam standar, ia tak bisa semata dilihat dengan
satu kacamata saja. Pembaca cyber yang sudah merasakan dan memahami psikologi
dunia maya umumnya terbiasa dengan cara pandang multifaset seperti itu dan
karenanya mereka cukup kritis memilih apa yang ingin mereka baca atau mereka
lewati. Mungkin kini saatnya sastrawan dan, terutama, kritikus sastra kita
membiasakan diri untuk menyediakan lebih dari satu kacamata, agar tidak mudah
silap dalam membaca hal-hal tsb. Selain permasalahan di atas, minimnya
keterlibatan komunitas kampus dalam mendirikan pusat-pusat kajian media
digital. Baik yang terintegrasi ke dalam struktur formal pengajaran kampus dan
mewujud sebuah silabus, atau ke dalam bentuk dukungan informal pendirian
lembaga-lembaga seperti ELO atau EPC yang masing-masing didukung oleh UCLA dan
SUNY Buffalo. Kalau pun pusat-pusat kajian seperti itu ternyata sudah berdiri
di (beberapa) universitas di Indonesia, hasil kajian mereka masih belum
terpublikasi luas, apalagi bisa dijadikan sebagai acuan untuk menelaah profil
sastra elektronik (sasel) Indonesia. Bahaya dari minimnya kajian media digital
seperti ini adalah digunakannya istilah-istilah yang sesungguhnya sudah baku
dalam komunitas teknologi internasional, namun diterapkan dengan tidak tepat
oleh sebagian komunitas sastra di sini. Kesalahan yang paling mendasar dan umum
ditemui adalah sebutan cyborg sebagai kata ganti bagi
"orang-orang yang aktif di dunia cyber, khususnya aktivis sastra
cyber."
Kenaifan seperti ini sangat mengkhawatirkan
mengingat sudah luas diketahui bahwa cyborg adalah
kependekan dari cybernetic organism, istilah yang pertama kali diciptakan
Manfred Clynes dan Nathan Kline untuk merujuk pada organisme yang
mengintegrasikan sistem natural dan artifisial dalam metabolisme tubuhnya.
Anakin Skywalker/Darth Vader dari film Star Wars adalah
contoh cyborg paling terkenal dari budaya populer. Sampai saat
ini minat para akademisi, dalam hal ini para guru besar sastra, atau para
kritikus sastra Indonesia, untuk terlibat dalam sebuah perbincangan konstruktif
tentang sastra cyber belum terdeteksi. Agak sulit membayangkan
di Indonesia akan bisa terjadi sebuah diskusi hangat yang mencerahkan antara
figur-figur di kubu narratology semacam George Landow atau Katherine Hayles di
satu pihak yang khatam ilmu sastra era Victoria namun juga intens mengamati
perkembangan sastra digital, menghadapi para guru besar (dan calon guru besar)
di kubu ludology yang berada di usia 40-an seperti Espen Aarseth atau Nick
Montfort, yang melewatkan masa remaja mereka bersama Lara Croft dariTomb
Raider.
2.6
Idiologi
Feminisme dalam Sastra Angkatan 2000
Apabila dibandingkan dengan angkatan
1970, maka apa yang dilakukan oleh pengarang perempuan angkatan 2000 telah
mengalami lompatan yang cukup jauh. Meskipun masih menyuarakan ketertindasan
isu-isu ketertindasan perempuan, dalam Angkatan 2000 umumnya pesan ideologi
feminisme yang disampaikan tidak sampai menceramahi dan terkesan memarahi
pembaca. Terkadang hanya isyarat tubuh dan tanpa banyak kata seorang tokoh
perempuan dapat dengan mudahnya mengalahkan laki-laki dari berbagai bidang
tidak terkecuali dalam hubungan seksual seperti yang berkembang pada karya
sastra sekarang yakni ditahun 2000-an. Di masa sekarang, khususnya setelah
terjadi reformasi pada media 1998, karya-karya pengarang perempuan juga lebih berani
dan terbuka dalam bersikap.
Perihal seksualitas yang selalu
diungkapkan dalam banyak kara sastra pengarang perempuan Angkatan 2000 menjadi
perdebatan hangat dikalangan sastrawan, kritikus, dan pembaca sastra pada
umunya. Ada yang memaklumi karena hal tersebut bagian dari kehidupan yang
banyak terjadi dalam kehidupan nyata dan tidak perlu ditutup-tutupi. Sebagian
lain kurang menyetujui karena dianggap karya-karya yang fulgar dengan
mengatasnamakan seni. Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, misalnya. Mereka contoh
para pengarang perempuan dari angkatan 2000 yang selalu merepresentasikan
kehidupan seksulitas tokoh-tokohnya. Permasalahan kehidupan sosial, politik,
dan budaya sepertinya juga ingin dikemukakan juga. Pengarang yang juga
termasuk dalam sastrawan 2000 ini sangat menjaga jarak dengan
tema-tema seputar aktivitas seksualita.
Seiring dengan arus globalisasi
dunia disamping pendidikan pengarang perenpuan masa kini yang semakin tinggi
membuat para pengarang perempuan tersebut semakin maju pola pikirnya. Tentu
saja hal tersebut turut memengaruhi cara mereka menyuarakan isu-isu
ketertindasan perempuan. Karya-karya mereka menurut banyak kalangan pemerhati
sastra, dirasakan telah berhasil mendobrak keterkungkungan perempuan dan
nilai-nilai patriarkis melalui ekspresi dan gaya bahasa yang digunakan.
Mengenai penggambaran seksualitas yang demikian terbuka, mengindikasikan
kekuasaan yang ingin ditampilkan oleh para pengarang perempuan tersebut. Hal
tersebut juga bisa dilihat dari kehidupan nyata. Sangat banyak kaum laki-laki
takluk dan tidak berdaya menahan godaan dari kaum perempuan. Meski mendapatkan
banyak kritikan dari pengamatan sastra karena banyak mendiskripsikan aktivitas
seksualitas, tidak membuat para feminis risih karena mereka beranggapan bahwa
hal tersebut sebenarnya merupakan simbol kedigdayaan perempuan.
Hal yang menyebabkan pergeseran
ideologi feminisme antara angkatan tersebut di antaranya karena perjuagan kaum
perempuan masa kini yang ingin benar-benar dihargai sebagai perempuan dan tidak
ingin dijadikan makhluk kelas dua yang terpinggirkan. Mereka memiliki kemampuan
untuk mandiri meski terkadang tanpa dukungan dari laki-laki.
Bab
III
Penutup
3.1 Kesimpulan
1) Angkatan 2000 lahir
karena ketidak berhasilannya sastra
angkata reformasi yang disebabkan tidak
adanya ‘Juru bicara’ . Dan oleh karena
itu Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya sastrawan
Angkatan 2000
2) Peristiwa
penting dalam angkatan 2000
a) Terbitnya
Jurnal Cerpen (2002) oleh Joni Ariadinata,dkk.
b) Lomba
Sayembata Menulis Novel,Dewan Kesenian Jakarta (2003).
c) Kongres
cerpen yang dilaksanakan secara berkala 2 tahun sekali.
d) Cybersastra.
3) Ciri-ciri
sastra angkatan 2000
a) Tema
sosial-politik, romantik.
b) Pilihan kata diambil dari bahasa sehari-hari
c) Tata
wajah yang bebas aturan dan cenderung ke puisi konkre.
d) Penggunaan
estetika
e) Karya-karyanya
profetik (keagamaan/religius)
f) Kritik
social juga muncul lebih keras.
4) Kelebihan dan kekurangan sastra
angkatan 2000
Kelebihan karya sastra tahun 2000:
1. Pencerminan sebagai karya reformis
dimana terjadi revolusi dalam bentuk
2. Penggunaan tema yang beragam
3. Kekuatan narasi yang lancer dan
mengalir
4. Banyaknya muncul karya sastra
pembangun jiwa
5. Kejadian menarik yang inspiratif
banyak digunakan pengarang dalam menuliskan karyanya.
Kekurangan karya sastra tahun 2000:
2.7 Banyak munculnya sastra perkelaminan
yang cenderung merusak moral bangsa.
2.8 Adanya lapisan sastrawan muda dengan
ekspresinya yang menggebu-gebu berkarta secara terbuka, bebas dan tidak
terlalu memperhatikan nilai moral yang berkembang di masyarakat.
5) Sastra
yang berkembang
a) Sastra
wangi
b) Cyber
sastra
6) Idiologi
feminism dalam sastra angkatan 2000
Ideologi feminisme yang disampaikan
dalam sastra angkatan 2000 tidak sampai menceramahi dan terkesan memarahi
pembaca. Terkadang hanya isyarat tubuh dan tanpa banyak kata seorang tokoh
perempuan dapat dengan mudahnya mengalahkan laki-laki dari berbagai bidang
tidak terkecuali dalam hubungan seksual seperti yang berkembang pada karya
sastra sekarang yakni ditahun 2000-an.
3.2 Saran
Dalam
mempelajari sejarah sastra angkatan 2000 harus dengan bimbingan dosen agar lebih
memahami materi bacaan yang ada, karana banyaknya kalimat yang sulit untuk kita
pahami.
Daftar Pustaka
http://alifaozi.blogspot.com/2011/04/artikel-sastra-pasca-reformasi.html
http://artikel_detail-78440-task%20-PERIODE%20ANGKATAN%202000.html
http://blogriyanto.blogspot.com/2010/06/karakteritik-satra-reformasi.html
http://Makalah%20sejarah%20sastra%20%28sastra%20pascareformasi%29%20_%20Sutimbang%20Ngawan.htm
http://nama-kelompok-angkatan-2000-1.html
http://periode-angkatan-2000-1990-2000.html
Rampan,
Korrie Layun, 2000. Angkatan 2000 Dalam
Sastra Indonesia,. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.